Jean Henri Dunant (8
Mei 1828 – 30 Oktober 1910), yang juga dikenal dengan nama Henry Dunant, adalah
pengusaha dan aktivis sosial Swiss. Ketika melakukan perjalanan untuk urusan
bisnis pada tahun 1859, dia menyaksikan akibat-akibat dari Pertempuran
Solferino, sebuah lokasi yang dewasa ini merupakan bagian Italia. Kenangan dan
pengalamannya itu dia tuliskan dalam sebuah buku dengan judul A Memory
of Solferino (Kenangan Solferino), yang menginspirasi
pembentukan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) pada tahun
1863.Konvensi Jenewa 1864 didasarkan pada gagasan-gagasan Dunant. Pada
tahun 1901, dia menerima Penghargaan Nobel Perdamaian yang pertama,
bersama dengan Frédéric Passy.
Dunant lahir di Jenewa, Swiss, putra pertama dari pengusaha
Jean-Jacques Dunant dan istrinya Antoinette Dunant-Colladon. Keluarganya adalah
penganut mashab Kalvin (''Calvinist'') yang taat serta mempunyai pengaruh yang
signifikan di kalangan masyarakat Jenewa. Kedua orangtuanya menekankan
pentingnya nilai kegiatan sosial. Ayahnya aktif membantu anak yatim-piatu dan
narapidana yang menjalani bebas bersyarat, sedangkan ibunya melakukan kegiatan
sosial membantu orang sakit dan kaum miskin.
Dunant tumbuh pada masa kebangkitan kesadaran beragama yang
dikenal dengan nama Réveil. Pada usia 18 tahun, dia bergabung dengan
Perhimpunan Amal Jenewa (''Geneva Society for Alms Giving''). Pada tahun berikutnya,
bersama teman-temannya, dia mendirikan perkumpulan yang disebut ”Thursday
Association”, sebuah kelompok anak muda tanpa ikatan keanggotaan resmi yang
melakukan pertemuan rutin untuk mempelajari Bibel dan menolong kaum miskin.
Waktu senggangnya banyak dia habiskan untuk mengunjungi penjara dan melakukan
kegiatan sosial. Pada tanggal 30 November 1852, Dunant mendirikan
cabang YMCA di Jenewa. Tiga tahun kemudian, dia berpartisipasi dalam
pertemuan Paris yang bertujuan membentuk YMCA menjadi sebuah organisasi
internasional.
Pada tahun 1849, ketika berusia 21, Dunant terpaksa meninggalkan
Kolese Kalvin (Collège Calvin) karena prestasi akademisnya buruk. Dia kemudian
menjadi pekerja magang di perusahaan penukaran uang bernama Lullin et
Sautter. Setelah masa magangnya selesai dengan prestasi baik, dia diangkat
sebagai karyawan bank tersebut.
Sekembalinya ke Jenewa pada awal bulan Juli, Dunant memutuskan
menulis sebuah buku tentang pengalamannya itu, yang kemudian dia beri
judul Un Souvenir de Solferino (Kenangan Solferino). Buku ini
diterbitkan pada tahun 1862 dengan jumlah 1.600 eksemplar, yang dicetak atas
biaya Dunant sendiri. Dalam buku ini, Dunant melukiskan pertempuran yang
terjadi, berbagai ongkos pertempuran tersebut, dan keadaan kacau-balau yang ditimbulkannya.
Dia juga mengemukakan gagasan tentang perlunya dibentuk sebuah organisasi
netral untuk memberikan perawatan kepada prajurit-prajurit yang terluka. Buku
ini dia bagikan kepada banyak tokoh politik dan militer di Eropa.
Dunant juga memulai perjalanan ke seluruh Eropa untuk
mempromosikan gagasannya. Buku tersebut mendapat sambutan yang sangat positif.
Presiden Geneva Society for Public Welfare (Perhimpunan Jenewa
untuk Kesejahteraan Umum), yaitu seorang ahli hukum bernama Gustave
Moynier, mengangkat buku ini beserta usulan-usulan Dunant di dalamnya sebagai
topik pertemuan organisasi tersebut pada tanggal 9 Februari 1863. Para anggota
organisasi tersebut mengkaji usulan-usulan Dunant dan memberikan penilaian
positif. Mereka kemudian membentuk sebuah Komite yang terdiri atas lima orang
untuk menjajaki lebih lanjut kemungkinan mewujudkan ide-ide Dunant tersebut,
dan Dunant diangkat sebagai salah satu anggota Komite ini. Keempat anggota lain
dalam Komite ini ialah Gustave Moynier, jenderal angkatan bersenjata Swiss
bernama Henri Dufour, dan dua orang dokter yang masing-masing
bernama Louis Appia dan Théodore Maunoir. Komite ini mengadakan
pertemuan yang pertama kali pada tanggal 17 Februari 1863, yang sekarang
dianggap sebagai tanggal berdirinya Komite Internasional Palang
Merah (ICRC).
Dari awal, Moynier dan Dunant saling berbeda pendapat dan bertikai
menyangkut visi dan rencana mereka masing-masing, dan ketidaksepahaman mereka
itu semakin lama semakin besar. Moynier menganggap ide Dunant tentang perlunya ditetapkan
perlindungan kenetralan bagi para pemberi perawatan sebagai gagasan yang sulit
diterima akal serta menasihati Dunant untuk tidak bersikeras memaksakan konsep
tersebut. Namun, Dunant terus menganjurkan pendiriannya itu dalam setiap
perjalanannya dan dalam setiap pembicaraannya dengan pejabat-pejabat politik
dan militer tingkat tinggi. Ini semakin mempersengit konflik pribadi antara
Moynier, yang memakai pendekatan pragmatis terhadap proyek tersebut, dan
Dunant, yang merupakan idealis visioner di antara kelima anggota Komite itu.
Pada akhirnya, Moynier berusaha menyerang dan menggagalkan Dunant ketika Dunant
mencalonkan diri untuk posisi ketua Komite.
Pada bulan Oktober 1863, 14 negara berpartisipasi dalam pertemuan
yang diselenggarakan oleh Komite tersebut di Jenewa untuk membahas masalah
perbaikan perawatan bagi prajurit terluka. Namun, Dunant sendiri hanya menjadi
ketua protokoler dalam pertemuan tersebut sebagai akibat dari usaha Moynier
untuk memperkecil perannya. Setahun kemudian, pada tanggal 22 Agustus 1864,
sebuah konferensi diplomatik yang diselenggarakan oleh Parlemen Swiss
membuahkan hasil berupa ditandatanganinya Konvensi Jenewa Pertama
oleh 12 negara. Untuk konferensi ini pun, Dunant hanya bertugas sebagai
pengatur akomodasi bagi peserta.
Pada tahun 1901, Dunant menerima Hadiah Nobel
Perdamaian pertama yang pernah dianugerahkan, yaitu atas perannya dalam
mendirikan Gerakan Palang Merah Internasional dan mengawali proses terbentuknya
Konvensi Jenewa. Dokter militer Norwegia, Hans Daae, yang pernah menerima satu
eksemplar buku tulisan Müller itu, mengadvokasikan kasus Dunant kepada Panitia
Nobel. Hadiah tersebut adalah hadiah bersama yang diberikan kepada Dunant
dan Frédéric Passy, seorang aktivis perdamaian Prancis yang mendirikan
Liga Perdamaian dan yang aktif bersama Dunant dalam Aliansi untuk Ketertiban
dan Peradaban (Alliance for Order and Civilization). Ucapan selamat
resmi yang akhirnya diterima Dunant dari Komite Internasional Palang Merah
merepresentasikan rehabilitasi nama Dunant:
“Tak ada yang lebih layak untuk menerima kehormatan ini, karena
Andalah yang empat puluh tahun yang lalu mendirikan organisasi internasional
bantuan kemanusiaan bagi korban luka di medan tempur. Tanpa Anda, Palang Merah,
yang merupakan prestasi kemanusiaan yang agung abad kesembilan belas,
barangkali tak akan pernah diusahakan.”
Moynier dan Komite Internasional Palang Merah secara keseluruhan
juga dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian tersebut. Meskipun Dunant
memperoleh dukungan dari kalangan luas dalam proses seleksi, dia tetap
merupakan calon yang kontroversial. Sejumlah pihak berargumen bahwa Palang
Merah dan Konvensi Jenewa justru membuat perang menjadi lebih
menarik dan menggoda dengan meringankan sebagian dari penderitaan yang
ditimbulkan perang. Oleh karena itu, Müller dalam suratnya kepada Panitia Nobel
menyampaikan pendapat bahwa hadiah tersebut perlu dibagi antara Dunant dan
Passy, yang sempat menjadi calon utama untuk menjadi satu-satunya penerima
hadiah tersebut dalam perdebatan yang terjadi selama berlangsungnya proses
seleksi. Müller juga menyarankan bahwa sekiranya Dunant dianggap layak untuk
menerima Hadiah Nobel, hadiah tersebut perlu segera diberikan kepadanya
mengingat usianya yang telah lanjut dan kondisi kesehatannya yang sudah memburuk.
Keputusan Panitia Nobel untuk membagi hadiah tersebut antara
Passy, seorang tokoh perdamaian, dan Dunant, seorang tokoh kemanusiaan, menjadi
preseden bagi persyaratan mengenai seleksi penerima Hadiah Nobel Perdamaian
yang berdampak signifikan pada tahun-tahun berikutnya. Salah satu bagian dalam
surat wasiat Nobel menyebutkan bahwa hadiah untuk perdamaian diberikan kepada
orang yang berupaya mengurangi atau menghapuskan pasukan tetap (standing
armies) atau berupaya untuk scara langsung mempromosikan konferensi
perdamaian. Inilah yang membuat Passy secara alamiah terpilih menjadi calon
penerima hadiah tersebut berkat usaha-usahanya di bidang perdamaian. Pemberian
Hadiah Nobel untuk usaha-usaha di bidang kemanusiaan saja akan menjadi hal yang
sangat mencolok, dan hal tersebut dianggap oleh sejumlah pihak sebagai
penafsiran yang terlalu luas atas surat wasiat Nobel. Akan tetapi, satu bagian
lain dalam surat wasiat Nobel menetapkan hadiah bagi orang yang berprestasi
terbaik dalam meningkatkan “persaudaraan antarmanusia” (the brotherhood of
people). Ini secara lebih umum bisa ditafsirkan sebagai pesan bahwa
usaha-usaha kemanusiaan seperti yang dilakukan oleh Dunant itu juga terkait
dengan usaha-usaha perdamaian. Penerima Hadiah Nobel Perdamaian di tahun-tahun
berikutnya yang banyak jumlahnya itu dimasukkan ke dalam salah satu dari dua
kategori yang untuk pertama kalinya ditetapkan oleh keputusan Panitia Nobel
1901 tersebut.
Hans Daae berhasil menaruh uang hadiah yang menjadi bagian Dunant,
sebesar 104.000 franc Swiss, di sebuah bank di Norwegia dan mencegah uang
tersebut diakses oleh para kreditor Dunant. Dunant sendiri tak pernah memakai
sedikit pun dari uang tersebut dalam hidupnya.
Di antara beberapa penghargaan lain yang diterima oleh Dunant di
tahun-tahun berikutnya ialah gelar doktor kehormatan dari Fakultas
Kedokteran University of Heidelberg, yang diterimanya pada tahun 1903.
Dunant tinggal di panti jompo di Heiden hingga akhir hayatnya. Pada tahun-tahun
terakhir hidupnya, dia menderita depresi dan ketakutan (paranoia) bahwa dia
terus dicari-cari oleh para kreditornya dan Moynier. Bahkan Dunant
kadang-kadang mendesak juru masak panti jompo tersebut untuk mencicipi terlebih
dulu jatah makanannya di hadapan dia agar dia terlindung dari kemungkinan
diracuni. Meskipun mengaku tetap berkeyakinan Kristen, Dunant pada tahun-tahun
terakhir hidupnya menolak dan menyerang Kalvinisme dan agama terorganisasi (organized
religion) pada umumnya.
Menurut para juru rawatnya, tindakan terakhir yang dilakukan
Dunant dalam hidupnya ialah mengirimkan satu eksemplar buku tulisan Müller
kepada ratu Italia disertai surat pengantar dari Dunant sendiri. Dunant
meninggal dunia pada tanggal 30 Oktober 1910, dan kata-kata terakhirnya ialah
“Kemana lenyapnya kemanusiaan?” Dunant meninggal hanya dua bulan setelah musuh
bebuyutannya, Moynier. Meskipun ICRC menyampaikan ucapan selamat kepada Dunant
atas penganugerahan Hadiah Nobel tersebut, kedua rival ini tak pernah
berrekonsiliasi.
Sesuai keinginannya, Dunant dikuburkan tanpa upacara di Kompleks
Pemakaman Sihlfeld di Zurich. Dalam surat wasiatnya, dia mendonasikan sejumlah
uang untuk menyediakan satu “ranjang gratis” di panti jompo di Heiden tersebut,
yang harus selalu tersedia untuk warga miskin kawasan itu. Dia juga memberikan
sejumlah uang, melalui akte notaris, kepada teman-temannya dan kepada
organisasi amal di Norwegia dan Swiss. Sisa uangnya dia berikan kepada para
kreditornya sehingga sebagian utangnya lunas. Ketidakmampuan Dunant untuk
sepenuhnya melunasi utang-utangnya menjadi beban besar baginya hingga hari
kematiannya.
Hari ulang tahunnya, 8 Mei, dirayakan sebagai Hari Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah Sedunia (''World Red Cross and Red Crescent Day''). Panti
jompo di Heiden yang dulu menampungnya itu sekarang menjadi Museum Henry
Dunant. Di Jenewa dan sejumlah kota lain ada banyak sekali jalan, lapangan, dan
sekolah yang dinamai dengan namanya. Medali Henry Dunant, yang dianugerahkan
setiap dua tahun oleh Komisi Tetap Gerakan Palang Merah dan Palang Merah
Internasional, merupakan penghargaan tertinggi yang dianugerahkan oleh Gerakan.
Kisah hidup Dunant diceritakan, dengan sejumlah unsur fiksi, dalam
film D'homme à hommes (1948) yang dibintangi oleh Jean-Louis
Barrault. Masa hidup Dunant ketika Palang Merah didirikan ditampilkan dalam
film produksi bersama internasional yang berjudul Henry Dunant: Red on
the Cross (2006). Pada tahun 2010, Takarazuka Revue menggelar drama
musikal berdasarkan pengalaman Dunant di Solferino dan proses pendirian Palang
Merah. Drama musikal ini berjudul ソルフェリーノの夜明け (Fajar di Solferino, atau Kemana Lenyapnya Kemanusiaan?).
http://pmrsmpn1pasarkemis.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar